Malam itu kami mengunjugi pengurus bioskop Karia Solok tersebut. Bapak itu sudah berusia 70 tahunan, keturunan Cina dan akrab dipanggil Kokoh. Kokoh mengaku kurang lebih sudah empat puluh tahun menjabat sebagai pengurus bioskop milik bapak Wirako tersebut. Menurut Kokoh bioskop sudah mulai ditinggalkan terutama sejak munculnya teknologi baru seperti VCD, DVD, dan lain-lain. Bahkan saat ini setiap orang juga dapat mengakses film-film terbaru melalui media internetsecara gratis.

Sebenarnya Kokoh sudah mulai menyerah, pasalnya sudah tidak ada lagi yang berminat mengunjungi bioskop. Bahkan kokoh mengatakan, film akan diputarkan walau hanya ada lima orang penonton. Namun sayangnya lima orang penonton pun tak kunjung datang. Harga tiket juga murah, hanya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) dan itu pun tidak ada pengaruhnya. Rekan saya Yudhi beranggapan mungkin hal ini juga dipengaruhi oleh pilihan film yang mungkin kurang diminati masyarakat secara umum. Menanggapi pendapat Yudhi saya jadi teringat ketika diskusi bersama bersama bapak Komunitas Sarueh pada peringatan film nasional di bioskop Eri Bukitinggi 30 maret 2012 kemarin.
Waktu itu film yang diputarkan adalah film “Pria Simpanan” karya Walmer Sitohang yang diproduksi pada tahun 1997. Beberapa pengunjung mengatakan film tersebut adalah film khusus dewasa atau semi porno. Harriyaldi Kurniawan dari komunitas Sarueh, mengatakan film tersebut sengaja diputarkan karena faktanya hingga masa 90an memang film seperti itulah yang dapat di konsusmsi para pengunjung bisokop di daerah Sumatera atau tepatnya Sumatrea Barat. Sedangkan di Jakarta pada masa itu orang-orang sudah mulai mengkonsumsi film-film cerdas karya sutradara ternama luar negeri. Dan itu mungkin juga karena harga film-film baru yang begitu mahal.
Koleksi Poster Bioskop Karia Solok (yudhi)
Bapak Yusril Katil, seorang pengamat perfilman Sumatera Barat yang juga telah menghasilkan banyak karya teater maupun film, menyatakan hal yang sama. Menurutnya, era Globalisasi yang kita rasakan saat ini mestinya dapat membangkitakan gairah kita, warga Sumatera yang terbiasa menjadi “penonton” untuk menyatakan perang dengan dengan karya – karya yang tidak mendidik. mungkin salah satu caranya yaitu dengan menjadi pembuat film. Faktanya saat ini kita sudah bisa mendapatkan berbagai pengatahuan, teknologi, ataupun fasilitas tanpa harus menunggu keputusan dari orang-orang yang berada di Jakarta sana.
Intinya kita yang biasa sebagai penonton harus bangkit menjadi creator atau pembuat film. Jika hal ini terwujud tentunya kita dapat membangkitakan kembali gairah bioskop Sumatera Barat. Bioskop – bioskop yang bertahan adalah sasaran efektif untuk media pemutaran dan diskusi terkait film-film karya lokal. Dengan demikian insyallah akan terwujud fungsi edukataif dari bioskop. (ARP)
______