Hujan itu magis. Menari di bawah hujan memberikan sebuah sensasi yang menyihir. Hujan adalah nyanyian alam, nyanyian merdu yang bercerita tentang alam. Hujan identik dengan mendung, gumpalan awan yang menetaskan rintik demi rintik. Dan lagi aku memaknai hujan sebagai nyanyian alam yang menderu merdu, seperti bisikan rindu yang tertahan di saat awan marah pada langit. Seringkali aku bertanya-tanya, kenapa setiap kali hujan turun, rindu-rindu seperti ikut datang bersama hujan. Menyentuh ke hati yang paling dalam.
Suatu sore dalam diamnya alam, mendadak hujan melantunkan nyanyian alam. Tik..tik..tik.. rintik demi rintik seolah berdetak menggelitik. Aku berpaling terhadap kaca, desahan nafas yang berhembus yang menggodaku untuk menulis namaku, namamu, nama kita.


Perlahan mendung menyapa di sela-sela berisiknya jalanan Kota Medan. Kembali aku tergoda membuka kaca jendela. Tempias hujan perlahan menyentuhku. Aku suka memainkan hujan, menupuk rinainya dan membungkusnya dalam bentuk bingkisan rindu yang teruntuk kamu.



Pagi selalu dihadapkan dengan keberadaan embun. Namun pagi itu hujan menyapaku dengan lembut. Menghanyutkanku disela-sela lamunan pagi yang masih terbawa mimpi. Hujan kali ini bagai kan mesin waktu, yang menderu merdu saat rindu menyerbu. Aku rindu kamu.

Hujan mulai mereda, aroma tanah mulai menggodaku. Namun pertanyaan yang tersisa di benakku. Apakah awan marah pada hujan yang menjadikannya tiada dan pernahkah hujan memaki angin yang membuatnya jatuh bahkan di tempat yang tidak pernah dia mau.

*) Penulis yang biasa disapa Igeb ini adalah salah seorang aktivis komunitas Gubuak Kopi yang saat ini tengah berjuang di Ibu Kota. Lulusan President University ini bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Pekarjaannya yang super sibuk itu juga memberinya banyak peluang jalan-jalan ke berbagai kota. Igeb saat ini tinggal di Cikarang juga memiliki blog pribadi yang bisa di klik di: http://gabriellamelisa.blogspot.com/