Wisata Budaya di Salayo

Wisata Budaya di Salayo

 

Perjalanan dimulai dari rasa penasaran saya dan rekan-rekan di Komunits Gubuak Kopi. Rasa penasaran ini terkait sejarah yang melatar belakangi keberadaan Kubuang Tigo Baleh (KTB) dan Datuak Parapatiah Nan Sabatang di Solok. Rasa penasaran ini pulalah yang membawa kami berjalan-jalan ke sana sini untuk menggali informasi. Perjalanan ini kami sebut Wisata Budaya

Orang pertama yang kami temui adalah Datuak Rajo Bandaran. Kami langsung menuju kediaman beliau pada hari Minggu (27/11) lalu. Beliau adalah ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Selayo jadi kami tidak begitu kesulitan menemukan rumah beliau, beliau hampir dikenal seluruh masyarakat Selayo. Kami yakin sekali beliau tentunya mengetahui banyak hal yang mendesak rasa penasaran kami tadi.

Siang itu kami disambut hangat , kami bersyukur sekali beliau ternyata berada dirumah. Tidak sia-sia rupanya perjalanan kami. Setelah memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud, beliau mulai bercerita dengan panjang lebarnya. Panas terik diluar sana rupanya tidak mengalahkan semangat beliau. Menurut beliau KTB adalah rombongan yang dipimpin oleh 13 orang datuk. Mereka adalah orang-orang yang terpojok akibat permusatan kekuasaan yang dilakukan oleh raja Pariangan pada masa itu (sekitar abad 12).

Mereka kemudian mengasingkan diri ke Agam, yang sekarang tempat tersebut dikenal dengan nama Luhuang Tigo Baleh. Kemudian suatu ketika terjadi kekacauan di Pariangan, hingga penguasa Pariangan merasa kewalahan untuk mengatasinya. akhirnya dikirimlah berkali-kali utusan dari Pariangan untuk meminta bantuan pada 13 kaum tadi. setelah beberapa kali penolakan, akhirnya mereka bersedia untuk membantu dengan beberapa kesepakatan yang intinya mereka menginginkan persamaan martabat dengan pemimpin Pariangan, kemudia diperbolehkan untuk membuka wilayah baru untuk pemukiman yang mana disana mereka berha mengurus diri masing-masing tana adanya campur tangan Pariangan.

Tiga belas pemimpin tadi adalah orang-orang yang sangat berpengaruh dan tangguh dalam berperang. mereka berhasil menyelamatkan Pariangan, dan Pengusa pun menepati janjinya. Dengan izin dari Raja, mereka melanjutkan pengembaraan dan menempati nagari baru di luar pariangan. Masing – masing pemimpin tadi berpencar kemudian mendirikan nagari-nagari baru di Solok dan sekitarnya. Solok Selayo adalah pusatnya, disini lah tempat para Tiga belas pemimpin tadi berkumpul, hingga nantinya Solok Selayo ditetapkan sebagai tempat lembaga tinggi adat sebagai tempat musyawarah pada masa itu.

Pohon yang diyakini sebagai tongkata datua Parapatiah Nan Sabatang oleh masyarakat Selayo (ARP/GBK)

Ibu Solok, Bapak Selayo. Begitulah sebutan untuk wilayah pusat KTB ini. Dari cerita beliau kami juga menangkap bahwasanya Datuak Parapatiah Nan Sabatang juga menancapkan tongkatnya di batas antara Solok dan Selayo. Tongkat tersebut saat ini tumbuh menjadi pohon yang besar. Namun sayang sekali kelihatanya kurang terawat. entah siapa yang mau disalahkan, mungkin kami juga termasuk orang bersalah, sebagai salah satu generasi penerus tentu kami berkewajiban untuk menjaganya. Kami menyesali sekali atas ketelambatan kami mengatahui hal tersebut.

Kelalaian ini sudah menjadi catatan bagi kawan-kawan di komunitas Gubuak Kopi yang mana mereka juga akan melakukan semacam goro bersama di lokasi tersebut nantinya. Kembali pada topic tadi, mungkin kita masih penasaran tentang apa itu KTB.

Istilah “Kubuang Tigo baleh” dibangun oleh dua makna kata. Yang pertama, “Kubuang” yang mana menurut beliau istilah tersebut berasal dari ucapan “aku buang” – “ku buang”, hingga menjadi “kubuang”(sayangnya saat ini istilah tersebut telah di’Indonesia’kan pula menjadi ‘Kubung’, semakin tak jelas lah maknanya). Sedangkan yang kedua adalah  “tigo baleh” adalah penunjuk jumlah yang dalam bahasa Indonesia menjadi kata “Tiga Belas” yaitu jumlah pemimpin yang mengasingkan diri tadi. berdasarkan arti kata diatas beberapa orang mengartikan KTB sebagai kelompok kaum yang dibuang oleh Pariangan. namun inti sebenarnya adalah kaum yang mengasingkan diri dari pemusatan kekuasaan. yang mana disini pulalah mulai tumbuhnya faham Musyawarah Mufakat yang belakangan ini berkembang menjadi faham Demokrasi.

Datuak Parapatiah Nan Sabatang sangat perhatian sekali terhadap masalah demokrasi, selain dari daerah rantau beliau juga belajar banyak mengenai bibit demokrasi di wilayah KTB ini. Pada abad 14 beliaulah orang yang pertama kali mengembangkan dan menyebarkan demokrasi di seluruh pelosok Ranah Minang ini. hal tersebut membuat beliau merasa begitu dekat dengan kaum KTB, beliau juga sering berkunjung ke daerah tersebut dan menginap di Selayo, hingga suatu ketika beliau jatuh sakit dan meninggal di Selayo.

Masih banyak hal menarik yang beliau ceritakan pada kami. Satu pertanyaan saja jawabanya sudah panjang lebar beliau menjelaskannya, hanya saja wawasan kami masih lemah mengenai masalah adat hingga banyak juga hal yang kurang kami mengerti. Beliau juga menyarakan kami untuk menemui salah seorang tokoh lagi. Menurut ketua KAN ini, orang tersebut Mengetahui lebih dalam akan risalah KTB tadi.

Sepertinya beliau sadar, rasa keingintahuan kami belum berakhir. Begitu banyak hal yang mesti kita ketahui lagi terkait sejarah yang melatarbelakangi pola budaya kita. Termasuk itu hubunganya dengan kesenian, rumah adat, balai adat, upacara perkawinan, dan lain sebagainya. Mungkin akan kita akan membahasnya lagi dengan lebih dalam dilain tulisan.

Makam Datuak Parapatiah Nan Sabatang (ARP/GBK)

Singkat cerita, keinginan tahuan tadi telah membawa kami hari itu juga mengunjungi makam Datuak Parapatiah Nan Sabatang. Memalukan sekali rasanya, kamana saja kami selama ini, padahal beliau begitu dekat. Sayang sekali baru mengtahuinya sekarang. Makam beliau berada di Selayo, Kab. Solok. Makam beliau terlihat cukup terwat. Disana kami melihat ada beberapa kuburan lagi di samping kuburan beliau. Sayang sekali tidak ada informasi mengenai itu. Tempat itu begitu sepi, kami juga bingung kepada siapa harus bertanya. Jadi kami putuskan untuk kembali lagi ke tempat tersebut di hari lain, nanti.

Di tempat itu ditemani kucing peliharan beliau, kami bercerita panjang lebar. Cerita yang tak tau entah kemana. Tiba-tiba kami memprotes kebijakan pemerintah yang mengganti nama – nama daerah d minangkabau dengan bahasa Indonesia.  Dan entah kenapa, saya merasa harus sedikit menylipkanya disini, bahwa penukaran nama-nama tempat dan istilah di Minangkabau ini menjadi bahasa Indonesia sungguh merusak sekali. Merusak nilai dan makna bahasa itu sendiri. Tak bisa saya bayangkan kalau nantinya Minangkabau akan bergati dengan  ‘’Minang Kerbau”. Masalah kecil ini akan jadi besar jika tidak segera ditanggapi. Lama kelamaan kami fikir ini akan berperan besar dalam memudarkan identitas budaya kita. Semoga hal ini tidak terjadi lagi kedepanya. Ayo kawan-kawan mari kita jaga budaya kita…!! (GEM/GBK)

Lokasi Makam Datuak Parapatiah Nan Sabatang
Lokasi Makam Datuak Parapatiah Nan Sabatang
foto gedung pertemuan Kubuang Tigo Baleh, yang di daerah Kota Solok (ARP/GBK)
Gaya Khas Balai pertemuan Adat Selayo (Balai Nan Panjang) sebagai temapat musyawarah tempat para petinggi adat dan ‘Lubuak sikarah’ Solok (Balai Nan Bapaneh) sebagai tempat musyawarah yang menyatu bersama rakyat. (ARP/GBK)


Pohon yang diyakini sebagai tongkata datua Parapatiah Nan Sabatang oleh masyarakat Solok Selayo terlihat tidak terawat lagi. (ARP/GBK)


Posted

in

by